Senin, 28 Maret 2016

Tiga Perkara Yang Menyelamatkan





Darussalam-online.com – Suatu kali sahabat Mu’awiyah Radhiallahu Anhu menulis surat kepada Aisyah Radhiallahu Anha, “Tulislah surat yang berisi nasihat untukku dan jangan terlalu panjang!
“Maka Aisyah Radhiallahu Anhu menulis surat kepada Muawiyah, “Salamaun ‘alaika, Amma ba’du, sesungguhnya aku mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, ‘Barangsiapa mengejar ridha Allah meskipun manusia marah, niscaya Allah akan mencukupkannya dari kebergantungan kepada manusia. Dan barangsiapa mengejar ridha manusia dengan kemarahan Allah, niscaya Allah akan menyerahkannya kepada manusia. Wassalamu’alaikum”. (Shahih, HR at-Tirmidzi)
Pelajaran apa yang dapat kita ambil dari kisah Muawiyah sewaktu menjadi penguasa??
Pertama, penguasa cenderung membutuhkan nasehat. Makanya, islam ini semuanya adalah nasehat, baik untuk Allah, Rasul-Nya, para pemimpin dan kaum muslimin umumnya. Yang terpenting adalah bagaimana nasehat tersebut sampai ke dalam kalbu, yang berarti harus keluar dari kalbu. Sebab, banyak nasehat sebatas telinga, tidak masuk ke dalam kalbu. Apalagi nasehat tersebut tidak merubah perilaku seseorang.
Oleh karena itu, antara sabda Rasulullah dengan ucapan banyak orang. Dan berbeda pula apa yang disampaikan oleh para sahabat dengan ucapan orang-orang hari ini. Ungkapan yang muncul dari kesungguhan, apalagi dalam praktek kehidupan akan lebih berpengaruh daripada hanya sebatas pikiran yang disampaikan dalam bentuk kajian atau ceramah. Karena itu, semakin dalam ilmu seseorang yang dibangun di atas keimanan apalagi demi meraih ridha Allah, perkataannya akan lebih berpengaruh.
Kedua, manusia tidak akan sama rasa cinta dan benci mereka. Bahkan kemungkinan seseorang menyukai, sementara yang lain membencinya. Tidak akan mungkin membuat ridha mereka semua. Apalagi hukum masyarakat terkadang bengis, sebab komponen dari sebuah masyarakat sangat beragam. Sehingga bila menyikapi sesuatu, seringkali emosional. Seperti yang dialami oleh Juraij yang senantiasa beribadah kepada Rabb-Nya.
Imam asy-Syafi’i berkata,
“Kepuasan seluruh manusia adalah suatu cita-cita yang tidak mungkin dapat dicapai. Hendaknya engkau tetap memperhatikan perkara yang dapat memperbaiki keadaanmu dan sertailah ia selalu. Dan tinggalkanlah yang selain itu, janganlah engkau mengurusnya”.
Kisah menarik yang bisa diambil pelajaran akan ampuhnya do’a jelek seorang ibu pada anaknya, yaitu pada kisah Juraij. Jika tahu demikian, sudah barang tentu seorang anak kudu memuliakan orang tuanya. Jangan sampai ia membuat orang tuanya marah, sehingga keluar kata atau do’a jelek yang bisa mencelakakan dirinya. Hal ini sekaligus menjadi peringatan bagi orangtua untuk tidak mudah mendoakan kejelekan bagi anaknya, sebab doa tersebut barangkali akan terkabul.
Dari Abu Hurairah Radhiallahu Anhu, ia berkata, ”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا تَكَلَّمَ مَوْلُوْدٌ مِنَ النَّاسِ فِي مَهْدٍ إِلاَّ عِيْسَى بْنُ مَرْيَمَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ [وَسَلَّمَ] وَصَاحِبُ جُرِيْجٍ” قِيْلَ: يَا نَبِيَّ اللهِ! وَمَا صَاحِبُ جُرَيْجٍ؟ قَالَ: “فَإِنَّ جُرَيْجًا كَانَ رَجُلاً رَاهِباً فِي صَوْمَعَةٍ لَهُ، وَكَانَ رَاعِيُ بَقَرٍ يَأْوِي إِلَى أَسْفَلِ صَوْمَعَتِهِ، وَكَانَتْ اِمْرَأَةٌ مِنْ أَهْلِ الْقَرْيَةِ تَخْتَلِفُ إِلَى الرَّاعِي، فَأَتَتْ أُمُّهُ يَوْمًا فَقَالَتْ: يَا جُرَيْجُ! وَهُوَ يُصّلِّى، فَقَالَ فِي نَفْسِهِ – وَهُوَ يُصَلِّي – أُمِّي وَصَلاَتِي؟ فَرَأَى أَنْ يُؤْثِرَ صَلاَتَهُ، ثُمَّ صَرَخَتْ بِهِ الثَّانِيَةَ، فَقَالَ فِي نَفْسِهِ: أُمِّي وَصَلاَتِي؟ فَرَأَى أَنْ يُؤْثِرَ صَلاَتَهُ. ثُمَّ صَرَخَتْ بِهِ الثَالِثَةَ فَقَالَ: أُمِّي وَصَلاَتِي؟ فَرَأَى أَنْ يُؤْثِرَ صَلاَتَهُ. فَلَمَّا لَمْ يُجِبْهَا قَالَتْ: لاَ أَمَاتَكَ اللهُ يَا جُرَيْجُ! حَتىَّ تَنْظُرَ فِي وَجْهِ المُوْمِسَاتِ. ثُمَّ انْصَرَفَتْ فَأُتِيَ الْمَلِكُ بِتِلْكَ الْمَرْأَةِ وَلَدَتْ. فَقَالَ: مِمَّنْ؟ قَالَتْ: مِنْ جُرَيْجٍ. قَالَ: أَصَاحِبُ الصَّوْمَعَةِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. قَالَ: اِهْدَمُوا صَوْمَعَتَهُ وَأْتُوْنِي بِهِ، فَضَرَبُوْا صَوْمَعَتَهُ بِالْفُئُوْسِ، حَتىَّ وَقَعَتْ. فَجَعَلُوْا يَدَهُ إِلَى عُنُقِهِ بِحَبْلٍ؛ ثُمَّ انْطَلَقَ بِهِ، فَمَرَّ بِهِ عَلَى الْمُوْمِسَاتِ، فَرَآهُنَّ فَتَبَسَّمَ، وَهُنَّ يَنْظُرْنَ إِلَيْهِ فِي النَّاسِ. فَقَالَ الْمَلِكُ: مَا تَزْعُمُ هَذِهِ؟ قَالَ: مَا تَزْعُمُ؟ قَالَ: تَزْعُمُ أَنَّ وَلَدَهَا مِنْكَ. قَالَ: أَنْتِ تَزْعَمِيْنَ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. قَالَ: أَيْنَ هَذَا الصَّغِيْرُ؟ قَالُوْا: هَذَا فِي حُجْرِهَا، فَأَقْبَلَ عَلَيْهِ. فَقَالَ: مَنْ أَبُوْكَ؟ قَالَ: رَاعِي الْبَقَرِ. قَالَ الْمَلِكُ: أَنَجْعَلُ صَوْمَعَتَكَ مِنْ ذَهَبٍ؟ قَالَ: لاَ. قَالَ: مِنْ فِضَّةٍ؟ قَالَ: لاَ. قَالَ: فَمَا نَجْعَلُهَا؟ قَالَ: رَدُّوْهَا كَمَا كَانَتْ. قَالَ: فَمَا الَّذِي تَبَسَّمْتَ؟ قَالَ: أَمْراً عَرَفْتُهُ، أَدْرَكَتْنِى دَعْوَةُ أُمِّي، ثُمَّ أَخْبَرَهُمْ
“Tidak ada bayi yang dapat berbicara dalam buaian kecuali Isa bin Maryam dan (bayi di masa) Juraij” Lalu ada yang bertanya,”Wahai Rasulullah siapakah Juraij?” Beliau lalu bersabda, ”Juraij adalah seorang rahib yang berdiam diri pada rumah peribadatannya (yang terletak di dataran tinggi/gunung). Terdapat seorang penggembala yang menggembalakan sapinya di lereng gunung tempat peribadatannya dan seorang wanita dari suatu desa menemui penggembala itu (untuk berbuat mesum dengannya).
(Suatu ketika) datanglah ibu Juraij dan memanggil anaknya (Juraij) ketika ia sedang melaksanakan shalat, ”Wahai Juraij.” Juraij lalu bertanya dalam hatinya, ”Apakah aku harus memenuhi panggilan ibuku atau meneruskan shalatku?” Rupanya dia mengutamakan shalatnya. Ibunya lalu memanggil untuk yang kedua kalinya.  Juraij kembali bertanya di dalam hati, ”Ibuku atau shalatku?” Rupanya dia mengutamakan shalatnya. Ibunya memanggil untuk kali ketiga. Juraij bertanya lagi dalam hatinya, ”lbuku atau shalatku?” Rupanya dia tetap mengutamakan shalatnya. Ketika sudah tidak menjawab panggilan, ibunya berkata, “Semoga Allah tidak mewafatkanmu, wahai Juraij sampai wajahmu dipertontonkan di depan para pelacur.” Lalu ibunya pun pergi meninggalkannya.
Wanita yang menemui penggembala tadi dibawa menghadap raja dalam keadaan telah melahirkan seorang anak. Raja itu bertanya kepada wanita tersebut, ”Hasil dari (hubungan dengan) siapa (anak ini)?” “Dari Juraij”, jawab wanita itu. Raja lalu bertanya lagi, “Apakah dia yang tinggal di tempat peribadatan itu?” “Benar”, jawab wanita itu. Raja berkata, ”Hancurkan rumah peribadatannya dan bawa dia kemari.” Orang-orang lalu menghancurkan tempat peribadatannya dengan kapak sampai rata dan mengikatkan tangannya di lehernya dengan tali lalu membawanya menghadap raja. Di tengah perjalanan Juraij dilewatkan di hadapan para pelacur. Ketika melihatnya Juraij tersenyum dan para pelacur tersebut melihat Juraij yang berada di antara manusia.
Raja lalu bertanya padanya, “Siapa ini menurutmu?” Juraij balik bertanya, “Siapa yang engkau maksud?” Raja berkata, “Dia (wanita tadi) berkata bahwa anaknya adalah hasil hubungan denganmu.” Juraij bertanya, “Apakah engkau telah berkata begitu?” “Benar”, jawab wanita itu. Juraij lalu bertanya, ”Di mana bayi itu?” Orang-orang lalu menjawab, “(Itu) di pangkuan (ibu)nya.” Juraij lalu menemuinya dan bertanya pada bayi itu, ”Siapa ayahmu?” Bayi itu menjawab, “Ayahku si penggembala sapi.”
Kontan sang raja berkata, “Apakah perlu kami bangun kembali rumah ibadahmu dengan bahan dari emas?” Juraij menjawab, “Tidak perlu”. “Ataukah dari perak?” lanjut sang raja. “Jangan”, jawab Juraij. “Lalu dari apa kami akan bangun rumah ibadahmu?”, tanya sang raja. Juraij menjawab, “Bangunlah seperti sedia kala.” Raja lalu bertanya, “Mengapa engkau tersenyum?” Juraij menjawab, “(Saya tertawa) karena suatu perkara yang telah aku ketahui, yaitu terkabulnya do’a ibuku terhadap diriku.” Kemudian Juraij pun memberitahukan hal itu kepada mereka”. (Disebutkan oleh Bukhari dalam Adabul Mufrod)
Ini juga merupakan pelajaran penting bagaimana kita menyikapi masyarakat. Oleh itu, untuk menjadi pemimpin dan mengatur masyarakat sekian banyak itu tidak mudah. Pemimpin yang selamat dan terukur perilaku dan pandangannya apabila berkonsultasi dan meminta nasehat kepada para ulama’, sebagaimana dahulu yang dilakukan oleh para sahabat. Para pemimpin juga merupakan ulama’. Meskipun begitu, mereka mempunya lembaga Ahlul halli wal ‘aqdi.
Kemudian terjadi penurunan kualitas di tengah umat, pemimpin bukan lagi seorang ulama’. Terutama setelah masa Mu’awiyah Radhiallahu Anhu. Tetapi pemimpin masih menghormati ulama’, sebagaimana yang dilakukan oleh Harun Ar Rasyid, beliau selalu meminta nasehat dari para ulama’.
Kemudian terjadi pergeseran bahwa pemimpin memusuhi ulama’, itulah yang terjadi pada masa imam Ahmad Rahimahullah sehingga beliau dipenjara dan disiksa. Kemudian terjadi pergerseran lebih jauh lagi ketika ulama’ mendempe-dempe kepada penguasa, dan itulah suatu kehinaan. Sehingga Allah Ta’ala menggambarkan bahwa ulama yang mendempe-dempe penguasa ibarat anjing yang menjilat kesana dan kesini. Ia telah menghinakan ilmunya.
Apa yang bisa diambil pelajaran dari surat Muawiyah kepada Aisyah adalah ungkapan permintaan nasehat yang pendek. Nasehat tersebut disampaikan oleh Aisyah sebagaimana Rasulullah menyampaikannya. Hal ini juga menggambarkan bahwa manusia cenderung mendengarkan nasehat yang ringkas.
Hakekat manusia adalah sejauh mana nilai perilakunya dikaitkan dengan Allah. Rusak dan baiknya manusia terkait hubungan hatinya dengan Allah. Seseorang tidak akan mungkin menjadi koruptor, jika dalam hatinya tidak ada niat untuk korupsi. Dan seseorang tidak akan menjadi pezina, kalau di hatinya tidak ada keinginan untuk berzina. Semua penentuan ada dalam hati.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ : أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ : ثَلاَثٌ مُنْجِيَات وَثَلاَثٌ مُهْلِكَاتٌ فَأَمَّا الْمُنْجِيَاتُ فَتَقْوَى الله فِي السِرِّ وَالْعَلاَنِيَةِ وَالْقَوْلُ بِالْحَقِّ فِي الرِّضَا وَالسُّخْطِ وَالْقَصْدُ فِي الْغَنِى وَالْفَقْرِ وَأَمَّا الْمُهْلِكَاتُ فَهَوَى مُتْبَعً وَشُحًّ مُطَاعً وَإِعْجَابُ الْمَرُءُ بِنَفْسِهِ وِهِيَ أَشَدُّهُنَّ
“Tiga perkara yang menyelamatkan dan tiga perkara yang menyesatkan. Adapun perkara yang menyelamatkan adalah taqwa kepada Allah dalam keadaan sembunyi maupun terang-terangan, dan berkata haq dalam keadaan ridha dan marah, dan sederhana dalam keadaan kaya dan fakir. Adapun perkara yang mencelakakan adalah hawa nafsu yang dituruti, dan kekikiran yang dita’ati, dan bangga akan diri sendiri, dan hal ini merupakan yang paling berbahaya.” (HR. Al Baihaqi)
Alangkah indahnya ucapan beliau Shallallahu Alaihi Wasallam yang mencakup segala jalan kebaikan, memperingatkan dari segala jurang-jurang kehancuran.
Adapun taqwa kepada Allah dalam keadaan sembunyi maupun terang-terangan, maka itu adalah pokok segala perkara. Dengannya kebaikan dapat dicapai, dan kejahatan dapat ditepis. Ia adalah selalu merasa takut kepada Allah selamanya, dan mengetahui dekatnya Zat Maha Raja yang Maha Mengetahui. Sehingga seseorang merasa malu kepada Tuhannya jika Ia melihatnya berada dalam kemaksiatan. Dan mendapatinya tidak berada dalam perkara-perkara yang mendekatkannya kepada ridha-Nya.
Taqwa inilah yang menjadikan diri kita bahagia. Bahkan keluarga dan juga masyarakat serta bangsa kita jika ingin mendapatkan kesenangan dan kebahagiaan harus menjadi masyarakat yang bertaqwa. Sebaliknya, penduduk negeri yang tidak bertakwa pada Allah Ta’ala akan tertimpa berbagai musibah dan bencana yang bertubi-tubi. Maka sudah seharusnya kita berusaha mengajak masyarakat menjadi masyarakat yang bertaqwa agar dijauhkan dari bencana dan didekatkan pada kebahagiaan.
Apa yang dilakukan oleh manusia ketika shalat berjama’ah di masjid, ia tidak bisa menyembunyikan diri. Puasa di bulan Ramadhan, semua orang juga melaksanakannya. Namun disana ada amalan-amalan yang tidak perlu dilihat oleh orang. Seperti; shalat-shalat sunnah, puasa sunnah, sedekah dan amalan sunnah lainnya yang tidak harus dilihat oleh manusia.
Ketika seseorang beramal dalam keadaan terbuka merupakan hal yang lumrah. Namun ketika seseorang suka beramal terhadap hal-hal yang tidak dilihat oleh orang, hal itu luar biasa. Kita bisa lihat orang-orang hebat di masa lalu seperti Abdullah bin Mubarak, beliau adalah seorang ulama’, pengusaha sukses dan mujahid besar. Apa yang terjadi dengan beliau?
Qasim bin Muhammad bercerita, “Suatu ketika kami pernah bepergian bersama Ibnu Mubarak. Dia adalah orang yang selalu menjadi perhatinku. Aku bertanya-tanya pada diri sendiri, “Dengan apa lelaki ini lebih diunggulkan daripada aku sehingga ketenarannya sangat dikagumi oleh masyarakat? Jika dia adalah orang yang rajin menjalankan shalat, aku pun juga menjalankannya. Jika dia menunaikan puasa, aku juga berpasa. Jika dia berperang, aku juga berperang. Jika dia pergi haji, aku juga menunaikannya.
Kami tiba di kawasan menuju Syam pada malam hari akhirnya kami pun berhenti sejenak di sebuah rumah yang lampunya mati. Salah satu diantara kami pergi unutk menagmbil lamu. Setelah lampu dinyalakan, dia berhenti sejenak dan saat lampu itudinyalakan, dia berhenti sejenak dan saat itu aku sempat melihat wajah Ibnu Mubarak dan jenggotnya basa dengan air mata. Aku bergumam dalam hati, “Barangkali basa dengan air mata. Aku bergumam dalam hati. Barangkali karena sifat inilah dia lebih unggul daripada aku. Mungkin saja ketika lampu padam dan dalam kondisi gelap gulita. Ibnu Mubarak menyempatkan diri mengingat hari akhir.
Ada seorang pemuda sering membantu Ibnu Mubarak untuk menyelesaikan pekerjaannya. Pemuda itu juga belajar hadis dariya. Suatu saat pemuda itu tidak datang di kajian hadistnya, dan beliau menanyakan kepada sekelompok orang, tentang pemuda itu. Mereka menjawab, “Pemuda itu ditahan dengan harga tebusan sebesar sepuluh dirham. Kemudian Ibnu Mubarak menebus pemuda itu dengan harta sepuluh dirham. Dia mensyarakatkan agar tidak ada yang memberitahu pada seseorang tentang hal itu selama dia masih hidup. Setelah itu bebaslah pemuda tersebut.
Lalu Ibnu Mubarak bertanya kepadanya, “Wahai pemuda, selama ini dimanakah kamu berada? Aku tidak pernah melihatmu. Pemuda tadi menjawab, Wahai Abu Abdurrahman aku tertahan karena memiliki hutang. Ibnu Mubarak bertanya lagi, “Lalu, bagaimana kamu bisa bebas? Pemuda itu menjwab, “Ada seseorang yang datang dan menebus hutangku tetapi aku tidak tahu siapakah dia. Ibnu Mubarak berkata, “Bersyukurlah”. Pemuda itu tidak mengetahui siapa yang menebus hutangnya kecuali setelah kematian Ibnu Mubarak.
Ibnul Mubarak mengatakan, “Jadilah orang yang suka mengasingkan diri (sehingga amalan mudah tersembunyi), dan janganlah suka dengan popularitas”.
Sebagai catatan, ada 3 hal yang menjadi seseorang terganggu keikhlaskannya. Pertama, suka dipuji atau ingin dipuji. Kedua, takut dicela ketika berbuat sesuatu. Ketiga, berharap sesuatu dari manusia. Tiga hal ini semuanya terkait dengan manusia.
Hakekat takwa sebagaimana yang diungkapkan oleh Ali bin Abi Thalib Radhiallahu Anhu adalah
الْخَوْفُ مِنَ الْجَلِيْلِ وَالْعَمَلُ بِالتَّنْزِيْلِ وَاْلإِسْتِعْدَادُ لِيَوْمِ الرَّحِيْلِ وَالرِّضَا بِالْقَلِيْلِ
Takut kepada Allah yang Maha Mulia, mengamalkan apa yang termuat dalam at tanzil (Al-Qur’an), mempersiapkan diri untuk hari meninggalkan dunia dan ridha (puas) dengan hidup seadanya (sedikit)
Sedangkan berkata haq dalam keadaan ridha mau marah, maka sesungguhnya hal itu merupakan pertanda kejujuran dan keadilan dan taufik. Merupakan suatu bukti yang paling nyata akan keimanan dan penguasaan seorang hamba atas amarah dan nafsunya. Sesungguhnya tidaklah selamat dari nafsu itu kecuali orang-orang yang jujur. Sehingga kemarahan dan nafsu tidak mengeluarkannya dari kebenaran, dan tidak menjerumuskannya ke dalam kebatilan. Bahkan kejujuran mencakup seluruh keadaannya dan meliputinya.
Yang lebih penting lagi adalah mengatakan kebenaran saat kebenaran itu dibutuhkan ummat. Karena seseorang yang mengatahui kebenaran dan tidak mau menyampaikan pada ummat saat kebenaran tersebut sangat dibutuhkan, ia terancam dengan hadist Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- قَالَ:” مَا مِنْ رَجُلٍ يَحْفَظُ عِلْماً فَيَكْتُمَهُ، إِلاَّ أُتِيَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مُلْجِماً بِلِجَامِ مِنَ النَّارِ
Dari Abu Hurairah Radhiallahu Anhu, dari nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda: “tidaklah seseorang menghafal ilmu kemudian ia sembunyikan, kecuali ia pada hari kiamat akan dikendalikan dengan kendali dari api neraka”. (HR. Ibnu Majah)
Maka kewajiban bagi orang yang mengetahui kebenaran agar membimbing ummat menuju jalan kebenaran dan tidak takut terhadap celaan orang-orang yang mencela.
Adil adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya. Jika kita lihat para mahasiswa demonstrasi menuntut keadilan, seringkali keadilan tersebut hanya terkait antara penguasa dan rakyat. Padahal keadilan yang paling tinggi adalah bagaimana seorang hamba menunaikan hak-hak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hak dan kewajiban terhadap Allah inilah yang pertama kali harus dilaksanakan. Dan itulah yang diperintahkan oleh Allah kepada manusia untuk menegakkan keadilan.
Perilaku yang paling mencederai keadilan terkait dengan hak Allah adalah kesyirikan. Kemudian perilaku yang paling mencederai keadilan terkait dengan manusia adalah membunuh manusia tanpa hak. Terkait dengan mencederai keadilan terhadap diri sendiri yang paling tinggi adalah melakukan zina. Dan inilah yang diperingatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya,
وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهاً آخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَاماً{68} يُضَاعَفْ لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِ مُهَاناً{69}
“Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya). Akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina. (Al Furqan: 68-69)
Begitu juga kesederhanaan dalam keadaan miskin dan kaya. Sesungguhnya ia merupakan tanda kekuatan akal dan manajemen yang baik. Dan merupakan kepatuhan dan perwujudan dari petunjuk Allah Yang Maha Kuasa, yang terdapat dalam firman-Nya
وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا
“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak pula kikir, dan teguh berada diantara hal-hal yang demikian.” (Al-Furqaan: 67)
Sederhana atau ekonomis dalam keadaan miskin maupun kaya adalah:
1.      Ekonomis bukan berarti pelit atau bakhil dalam mengeluarkan kekayaannya sebagaimana ayat di atas. Dan tidak ada jalan untuk masuk surga bagi orang pelit, ini adalah aksiomatik. Orang pelit dibenci oleh Allah dan manusia.
2.      Sebesar apapun harta yang dikeluarkan di jalan Allah, tidak masuk kategori pemborosan. Karena hal ini telah dicontohkan oleh para sahabat diantaranya Abu Bakar, Umar, Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf Radhiallahu Anhum.
3.      Sekecil apapun harta yang dikeluarkan dalam rangka bermaksiat kepada Allah adalah pemborosan.
Jadi, tiga perkara ini mencakup seluruh kebaikan yang berkaitan dengan hak Allah, dan hak pribadi, serta hak para hamba. Dan pelakunya akan mendapatkan kemenangan dengan kemuliaan, petunjuk dan bimbingan.
Wallahu Ta’ala A’lam
(ddn/darussalam-online.com