Darussalam-online.com – Suatu
kali sahabat Mu’awiyah Radhiallahu Anhu menulis surat kepada Aisyah Radhiallahu
Anha, “Tulislah surat yang berisi nasihat untukku dan jangan terlalu panjang!
“Maka Aisyah Radhiallahu Anhu menulis surat kepada
Muawiyah, “Salamaun ‘alaika, Amma ba’du, sesungguhnya aku mendengar Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, ‘Barangsiapa
mengejar ridha Allah meskipun manusia marah, niscaya Allah akan mencukupkannya
dari kebergantungan kepada manusia. Dan barangsiapa mengejar ridha manusia
dengan kemarahan Allah, niscaya Allah akan menyerahkannya kepada manusia.
Wassalamu’alaikum”. (Shahih, HR at-Tirmidzi)
Pelajaran
apa yang dapat kita ambil dari kisah Muawiyah sewaktu menjadi penguasa??
Pertama,
penguasa cenderung membutuhkan nasehat. Makanya, islam ini semuanya adalah
nasehat, baik untuk Allah, Rasul-Nya, para pemimpin dan kaum muslimin umumnya.
Yang terpenting adalah bagaimana nasehat tersebut sampai ke dalam kalbu, yang
berarti harus keluar dari kalbu. Sebab, banyak nasehat sebatas telinga, tidak
masuk ke dalam kalbu. Apalagi nasehat tersebut tidak merubah perilaku seseorang.
Oleh
karena itu, antara sabda Rasulullah dengan ucapan banyak orang. Dan berbeda
pula apa yang disampaikan oleh para sahabat dengan ucapan orang-orang hari ini.
Ungkapan yang muncul dari kesungguhan, apalagi dalam praktek kehidupan akan
lebih berpengaruh daripada hanya sebatas pikiran yang disampaikan dalam bentuk
kajian atau ceramah. Karena itu, semakin dalam ilmu seseorang yang dibangun di
atas keimanan apalagi demi meraih ridha Allah, perkataannya akan lebih
berpengaruh.
Kedua,
manusia tidak akan sama rasa cinta dan benci mereka. Bahkan kemungkinan
seseorang menyukai, sementara yang lain membencinya. Tidak akan mungkin membuat
ridha mereka semua. Apalagi hukum masyarakat terkadang bengis, sebab komponen
dari sebuah masyarakat sangat beragam. Sehingga bila menyikapi sesuatu,
seringkali emosional. Seperti yang dialami oleh Juraij yang senantiasa
beribadah kepada Rabb-Nya.
Imam
asy-Syafi’i berkata,
“Kepuasan seluruh manusia
adalah suatu cita-cita yang tidak mungkin dapat dicapai. Hendaknya engkau tetap
memperhatikan perkara yang dapat memperbaiki keadaanmu dan sertailah ia selalu.
Dan tinggalkanlah yang selain itu, janganlah engkau mengurusnya”.
Kisah menarik yang bisa diambil pelajaran akan
ampuhnya do’a
jelek seorang ibu pada anaknya, yaitu pada kisah Juraij. Jika
tahu demikian, sudah barang tentu seorang anak kudu memuliakan orang tuanya.
Jangan sampai ia membuat orang tuanya marah, sehingga keluar kata atau do’a
jelek yang bisa mencelakakan dirinya. Hal ini sekaligus menjadi peringatan bagi
orangtua untuk tidak mudah mendoakan kejelekan bagi anaknya, sebab doa tersebut
barangkali akan terkabul.
Dari Abu Hurairah Radhiallahu Anhu, ia berkata,
”Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا
تَكَلَّمَ مَوْلُوْدٌ مِنَ النَّاسِ فِي مَهْدٍ إِلاَّ عِيْسَى بْنُ مَرْيَمَ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ [وَسَلَّمَ] وَصَاحِبُ جُرِيْجٍ” قِيْلَ: يَا نَبِيَّ
اللهِ! وَمَا صَاحِبُ جُرَيْجٍ؟ قَالَ: “فَإِنَّ جُرَيْجًا كَانَ رَجُلاً رَاهِباً
فِي صَوْمَعَةٍ لَهُ، وَكَانَ رَاعِيُ بَقَرٍ يَأْوِي إِلَى أَسْفَلِ
صَوْمَعَتِهِ، وَكَانَتْ اِمْرَأَةٌ مِنْ أَهْلِ الْقَرْيَةِ تَخْتَلِفُ إِلَى
الرَّاعِي، فَأَتَتْ أُمُّهُ يَوْمًا فَقَالَتْ: يَا جُرَيْجُ! وَهُوَ يُصّلِّى،
فَقَالَ فِي نَفْسِهِ – وَهُوَ يُصَلِّي – أُمِّي وَصَلاَتِي؟ فَرَأَى أَنْ
يُؤْثِرَ صَلاَتَهُ، ثُمَّ صَرَخَتْ بِهِ الثَّانِيَةَ، فَقَالَ فِي نَفْسِهِ:
أُمِّي وَصَلاَتِي؟ فَرَأَى أَنْ يُؤْثِرَ صَلاَتَهُ. ثُمَّ صَرَخَتْ بِهِ
الثَالِثَةَ فَقَالَ: أُمِّي وَصَلاَتِي؟ فَرَأَى أَنْ يُؤْثِرَ صَلاَتَهُ.
فَلَمَّا لَمْ يُجِبْهَا قَالَتْ: لاَ أَمَاتَكَ اللهُ يَا جُرَيْجُ! حَتىَّ
تَنْظُرَ فِي وَجْهِ المُوْمِسَاتِ. ثُمَّ انْصَرَفَتْ فَأُتِيَ الْمَلِكُ
بِتِلْكَ الْمَرْأَةِ وَلَدَتْ. فَقَالَ: مِمَّنْ؟ قَالَتْ: مِنْ جُرَيْجٍ. قَالَ:
أَصَاحِبُ الصَّوْمَعَةِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. قَالَ: اِهْدَمُوا صَوْمَعَتَهُ
وَأْتُوْنِي بِهِ، فَضَرَبُوْا صَوْمَعَتَهُ بِالْفُئُوْسِ، حَتىَّ وَقَعَتْ.
فَجَعَلُوْا يَدَهُ إِلَى عُنُقِهِ بِحَبْلٍ؛ ثُمَّ انْطَلَقَ بِهِ، فَمَرَّ بِهِ
عَلَى الْمُوْمِسَاتِ، فَرَآهُنَّ فَتَبَسَّمَ، وَهُنَّ يَنْظُرْنَ إِلَيْهِ فِي
النَّاسِ. فَقَالَ الْمَلِكُ: مَا تَزْعُمُ هَذِهِ؟ قَالَ: مَا تَزْعُمُ؟ قَالَ:
تَزْعُمُ أَنَّ وَلَدَهَا مِنْكَ. قَالَ: أَنْتِ تَزْعَمِيْنَ؟ قَالَتْ: نَعَمْ.
قَالَ: أَيْنَ هَذَا الصَّغِيْرُ؟ قَالُوْا: هَذَا فِي حُجْرِهَا، فَأَقْبَلَ
عَلَيْهِ. فَقَالَ: مَنْ أَبُوْكَ؟ قَالَ: رَاعِي الْبَقَرِ. قَالَ الْمَلِكُ:
أَنَجْعَلُ صَوْمَعَتَكَ مِنْ ذَهَبٍ؟ قَالَ: لاَ. قَالَ: مِنْ فِضَّةٍ؟ قَالَ:
لاَ. قَالَ: فَمَا نَجْعَلُهَا؟ قَالَ: رَدُّوْهَا كَمَا كَانَتْ. قَالَ: فَمَا
الَّذِي تَبَسَّمْتَ؟ قَالَ: أَمْراً عَرَفْتُهُ، أَدْرَكَتْنِى دَعْوَةُ أُمِّي،
ثُمَّ أَخْبَرَهُمْ
“Tidak ada bayi yang dapat
berbicara dalam buaian kecuali Isa bin Maryam dan (bayi di masa) Juraij” Lalu
ada yang bertanya,”Wahai Rasulullah siapakah Juraij?” Beliau lalu bersabda,
”Juraij adalah seorang rahib yang berdiam diri pada rumah peribadatannya (yang
terletak di dataran tinggi/gunung). Terdapat seorang penggembala yang
menggembalakan sapinya di lereng gunung tempat peribadatannya dan seorang
wanita dari suatu desa menemui penggembala itu (untuk berbuat mesum dengannya).
(Suatu ketika) datanglah ibu
Juraij dan memanggil anaknya (Juraij) ketika ia sedang melaksanakan shalat,
”Wahai Juraij.” Juraij lalu bertanya dalam hatinya, ”Apakah aku harus memenuhi
panggilan ibuku atau meneruskan shalatku?” Rupanya dia mengutamakan shalatnya.
Ibunya lalu memanggil untuk yang kedua kalinya. Juraij kembali bertanya
di dalam hati, ”Ibuku atau shalatku?” Rupanya dia mengutamakan shalatnya.
Ibunya memanggil untuk kali ketiga. Juraij bertanya lagi dalam hatinya, ”lbuku
atau shalatku?” Rupanya dia tetap mengutamakan shalatnya. Ketika sudah tidak
menjawab panggilan, ibunya berkata, “Semoga Allah tidak mewafatkanmu, wahai
Juraij sampai wajahmu dipertontonkan di depan para pelacur.” Lalu ibunya
pun pergi meninggalkannya.
Wanita yang menemui penggembala
tadi dibawa menghadap raja dalam keadaan telah melahirkan seorang anak. Raja
itu bertanya kepada wanita tersebut, ”Hasil dari (hubungan dengan) siapa (anak
ini)?” “Dari Juraij”, jawab wanita itu. Raja lalu bertanya lagi, “Apakah dia
yang tinggal di tempat peribadatan itu?” “Benar”, jawab wanita itu. Raja
berkata, ”Hancurkan rumah peribadatannya dan bawa dia kemari.” Orang-orang lalu
menghancurkan tempat peribadatannya dengan kapak sampai rata dan mengikatkan
tangannya di lehernya dengan tali lalu membawanya menghadap raja. Di
tengah perjalanan Juraij dilewatkan di hadapan para pelacur.
Ketika melihatnya Juraij tersenyum dan para pelacur tersebut melihat Juraij
yang berada di antara manusia.
Raja lalu bertanya padanya,
“Siapa ini menurutmu?” Juraij balik bertanya, “Siapa yang engkau maksud?” Raja
berkata, “Dia (wanita tadi) berkata bahwa anaknya adalah hasil hubungan
denganmu.” Juraij bertanya, “Apakah engkau telah berkata begitu?” “Benar”,
jawab wanita itu. Juraij lalu bertanya, ”Di mana bayi itu?” Orang-orang lalu
menjawab, “(Itu) di pangkuan (ibu)nya.” Juraij lalu menemuinya dan bertanya
pada bayi itu, ”Siapa ayahmu?” Bayi itu menjawab, “Ayahku si penggembala sapi.”
Kontan sang raja berkata,
“Apakah perlu kami bangun kembali rumah ibadahmu dengan bahan dari emas?”
Juraij menjawab, “Tidak perlu”. “Ataukah dari perak?” lanjut sang raja.
“Jangan”, jawab Juraij. “Lalu dari apa kami akan bangun rumah ibadahmu?”, tanya
sang raja. Juraij menjawab, “Bangunlah seperti sedia kala.” Raja lalu bertanya,
“Mengapa engkau tersenyum?” Juraij menjawab, “(Saya tertawa) karena suatu
perkara yang telah aku ketahui, yaitu terkabulnya do’a ibuku terhadap diriku.”
Kemudian Juraij pun memberitahukan hal itu kepada mereka”. (Disebutkan
oleh Bukhari dalam
Adabul Mufrod)
Ini
juga merupakan pelajaran penting bagaimana kita menyikapi masyarakat. Oleh itu,
untuk menjadi pemimpin dan mengatur masyarakat sekian banyak itu tidak mudah.
Pemimpin yang selamat dan terukur perilaku dan pandangannya apabila
berkonsultasi dan meminta nasehat kepada para ulama’, sebagaimana dahulu yang
dilakukan oleh para sahabat. Para pemimpin juga merupakan ulama’. Meskipun
begitu, mereka mempunya lembaga Ahlul halli wal ‘aqdi.
Kemudian
terjadi penurunan kualitas di tengah umat, pemimpin bukan lagi seorang ulama’.
Terutama setelah masa Mu’awiyah Radhiallahu Anhu. Tetapi pemimpin masih
menghormati ulama’, sebagaimana yang dilakukan oleh Harun Ar Rasyid, beliau
selalu meminta nasehat dari para ulama’.
Kemudian
terjadi pergeseran bahwa pemimpin memusuhi ulama’, itulah yang terjadi pada
masa imam Ahmad Rahimahullah sehingga beliau dipenjara dan disiksa. Kemudian
terjadi pergerseran lebih jauh lagi ketika ulama’ mendempe-dempe kepada
penguasa, dan itulah suatu kehinaan. Sehingga Allah Ta’ala menggambarkan bahwa
ulama yang mendempe-dempe penguasa ibarat anjing yang menjilat kesana dan
kesini. Ia telah menghinakan ilmunya.
Apa
yang bisa diambil pelajaran dari surat Muawiyah kepada Aisyah adalah ungkapan
permintaan nasehat yang pendek. Nasehat tersebut disampaikan oleh Aisyah
sebagaimana Rasulullah menyampaikannya. Hal ini juga menggambarkan bahwa
manusia cenderung mendengarkan nasehat yang ringkas.
Hakekat
manusia adalah sejauh mana nilai perilakunya dikaitkan dengan Allah. Rusak dan
baiknya manusia terkait hubungan hatinya dengan Allah. Seseorang tidak akan
mungkin menjadi koruptor, jika dalam hatinya tidak ada niat untuk korupsi. Dan
seseorang tidak akan menjadi pezina, kalau di hatinya tidak ada keinginan untuk
berzina. Semua penentuan ada dalam hati.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
عَنْ
أَبِيْ هُرَيْرَةَ : أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ
: ثَلاَثٌ مُنْجِيَات وَثَلاَثٌ مُهْلِكَاتٌ فَأَمَّا الْمُنْجِيَاتُ فَتَقْوَى
الله فِي السِرِّ وَالْعَلاَنِيَةِ وَالْقَوْلُ بِالْحَقِّ فِي الرِّضَا
وَالسُّخْطِ وَالْقَصْدُ فِي الْغَنِى وَالْفَقْرِ وَأَمَّا الْمُهْلِكَاتُ
فَهَوَى مُتْبَعً وَشُحًّ مُطَاعً وَإِعْجَابُ الْمَرُءُ بِنَفْسِهِ وِهِيَ
أَشَدُّهُنَّ
“Tiga perkara yang
menyelamatkan dan tiga perkara yang menyesatkan. Adapun perkara yang
menyelamatkan adalah taqwa kepada Allah dalam keadaan sembunyi maupun
terang-terangan, dan berkata haq dalam keadaan ridha dan marah, dan sederhana
dalam keadaan kaya dan fakir. Adapun perkara yang mencelakakan adalah hawa
nafsu yang dituruti, dan kekikiran yang dita’ati, dan bangga akan diri sendiri,
dan hal ini merupakan yang paling berbahaya.” (HR.
Al Baihaqi)
Alangkah
indahnya ucapan beliau Shallallahu Alaihi Wasallam yang mencakup segala jalan
kebaikan, memperingatkan dari segala jurang-jurang kehancuran.
Adapun taqwa kepada
Allah dalam keadaan sembunyi maupun terang-terangan, maka itu adalah pokok
segala perkara. Dengannya kebaikan dapat dicapai, dan kejahatan dapat ditepis.
Ia adalah selalu merasa takut kepada Allah selamanya, dan mengetahui dekatnya
Zat Maha Raja yang Maha Mengetahui. Sehingga seseorang merasa malu kepada
Tuhannya jika Ia melihatnya berada dalam kemaksiatan. Dan mendapatinya tidak
berada dalam perkara-perkara yang mendekatkannya kepada ridha-Nya.
Taqwa
inilah yang menjadikan diri kita bahagia. Bahkan keluarga dan juga masyarakat
serta bangsa kita jika ingin mendapatkan kesenangan dan kebahagiaan harus
menjadi masyarakat yang bertaqwa. Sebaliknya, penduduk negeri yang tidak bertakwa
pada Allah Ta’ala akan tertimpa berbagai musibah dan bencana yang bertubi-tubi.
Maka sudah seharusnya kita berusaha mengajak masyarakat menjadi masyarakat yang
bertaqwa agar dijauhkan dari bencana dan didekatkan pada kebahagiaan.
Apa
yang dilakukan oleh manusia ketika shalat berjama’ah di masjid, ia tidak bisa
menyembunyikan diri. Puasa di bulan Ramadhan, semua orang juga melaksanakannya.
Namun disana ada amalan-amalan yang tidak perlu dilihat oleh orang. Seperti;
shalat-shalat sunnah, puasa sunnah, sedekah dan amalan sunnah lainnya yang
tidak harus dilihat oleh manusia.
Ketika
seseorang beramal dalam keadaan terbuka merupakan hal yang lumrah. Namun ketika
seseorang suka beramal terhadap hal-hal yang tidak dilihat oleh orang, hal itu
luar biasa. Kita bisa lihat orang-orang hebat di masa lalu seperti Abdullah bin
Mubarak, beliau adalah seorang ulama’, pengusaha sukses dan mujahid besar. Apa
yang terjadi dengan beliau?
Qasim
bin Muhammad bercerita, “Suatu ketika kami pernah bepergian bersama Ibnu Mubarak.
Dia adalah orang yang selalu menjadi perhatinku. Aku bertanya-tanya pada diri
sendiri, “Dengan apa lelaki ini lebih diunggulkan daripada aku sehingga
ketenarannya sangat dikagumi oleh masyarakat? Jika dia adalah orang yang rajin
menjalankan shalat, aku pun juga menjalankannya. Jika dia menunaikan puasa, aku
juga berpasa. Jika dia berperang, aku juga berperang. Jika dia pergi haji, aku
juga menunaikannya.
Kami
tiba di kawasan menuju Syam pada malam hari akhirnya kami pun berhenti sejenak
di sebuah rumah yang lampunya mati. Salah satu diantara kami pergi unutk
menagmbil lamu. Setelah lampu dinyalakan, dia berhenti sejenak dan saat lampu
itudinyalakan, dia berhenti sejenak dan saat itu aku sempat melihat wajah Ibnu
Mubarak dan jenggotnya basa dengan air mata. Aku bergumam dalam hati,
“Barangkali basa dengan air mata. Aku bergumam dalam hati. Barangkali karena
sifat inilah dia lebih unggul daripada aku. Mungkin saja ketika lampu padam dan
dalam kondisi gelap gulita. Ibnu Mubarak menyempatkan diri mengingat hari
akhir.
Ada
seorang pemuda sering membantu Ibnu Mubarak untuk menyelesaikan pekerjaannya.
Pemuda itu juga belajar hadis dariya. Suatu saat pemuda itu tidak datang di
kajian hadistnya, dan beliau menanyakan kepada sekelompok orang, tentang pemuda
itu. Mereka menjawab, “Pemuda itu ditahan dengan harga tebusan sebesar sepuluh
dirham. Kemudian Ibnu Mubarak menebus pemuda itu dengan harta sepuluh dirham.
Dia mensyarakatkan agar tidak ada yang memberitahu pada seseorang tentang hal
itu selama dia masih hidup. Setelah itu bebaslah pemuda tersebut.
Lalu
Ibnu Mubarak bertanya kepadanya, “Wahai pemuda, selama ini dimanakah kamu
berada? Aku tidak pernah melihatmu. Pemuda tadi menjawab, Wahai Abu Abdurrahman
aku tertahan karena memiliki hutang. Ibnu Mubarak bertanya lagi, “Lalu,
bagaimana kamu bisa bebas? Pemuda itu menjwab, “Ada seseorang yang datang dan
menebus hutangku tetapi aku tidak tahu siapakah dia. Ibnu Mubarak berkata,
“Bersyukurlah”. Pemuda itu tidak mengetahui siapa yang menebus hutangnya
kecuali setelah kematian Ibnu Mubarak.
Ibnul Mubarak mengatakan, “Jadilah orang yang suka mengasingkan diri
(sehingga amalan mudah tersembunyi), dan janganlah suka dengan popularitas”.
Sebagai
catatan, ada 3 hal yang menjadi seseorang terganggu keikhlaskannya. Pertama,
suka dipuji atau ingin dipuji. Kedua, takut dicela ketika berbuat sesuatu.
Ketiga, berharap sesuatu dari manusia. Tiga hal ini semuanya terkait dengan
manusia.
Hakekat
takwa sebagaimana yang diungkapkan oleh Ali bin Abi Thalib Radhiallahu Anhu
adalah
الْخَوْفُ
مِنَ الْجَلِيْلِ وَالْعَمَلُ بِالتَّنْزِيْلِ وَاْلإِسْتِعْدَادُ لِيَوْمِ
الرَّحِيْلِ وَالرِّضَا بِالْقَلِيْلِ
Takut kepada Allah yang Maha
Mulia, mengamalkan apa yang termuat dalam at tanzil (Al-Qur’an), mempersiapkan
diri untuk hari meninggalkan dunia dan ridha (puas) dengan hidup seadanya
(sedikit)
Sedangkan
berkata haq dalam keadaan ridha mau marah, maka sesungguhnya hal itu merupakan
pertanda kejujuran dan keadilan dan taufik. Merupakan suatu bukti yang paling
nyata akan keimanan dan penguasaan seorang hamba atas amarah dan nafsunya.
Sesungguhnya tidaklah selamat dari nafsu itu kecuali orang-orang yang jujur.
Sehingga kemarahan dan nafsu tidak mengeluarkannya dari kebenaran, dan tidak
menjerumuskannya ke dalam kebatilan. Bahkan kejujuran mencakup seluruh
keadaannya dan meliputinya.
Yang
lebih penting lagi adalah mengatakan kebenaran saat kebenaran itu dibutuhkan
ummat. Karena seseorang yang mengatahui kebenaran dan tidak mau menyampaikan
pada ummat saat kebenaran tersebut sangat dibutuhkan, ia terancam dengan hadist
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- قَالَ:” مَا
مِنْ رَجُلٍ يَحْفَظُ عِلْماً فَيَكْتُمَهُ، إِلاَّ أُتِيَ بِهِ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ مُلْجِماً بِلِجَامِ مِنَ النَّارِ
Dari Abu Hurairah Radhiallahu Anhu, dari nabi
Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda: “tidaklah
seseorang menghafal ilmu kemudian ia sembunyikan, kecuali ia pada hari kiamat
akan dikendalikan dengan kendali dari api neraka”. (HR. Ibnu Majah)
Maka
kewajiban bagi orang yang mengetahui kebenaran agar membimbing ummat menuju
jalan kebenaran dan tidak takut terhadap celaan orang-orang yang mencela.
Adil
adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya. Jika kita lihat para mahasiswa
demonstrasi menuntut keadilan, seringkali keadilan tersebut hanya terkait
antara penguasa dan rakyat. Padahal keadilan yang paling tinggi adalah
bagaimana seorang hamba menunaikan hak-hak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hak dan
kewajiban terhadap Allah inilah yang pertama kali harus dilaksanakan. Dan
itulah yang diperintahkan oleh Allah kepada manusia untuk menegakkan keadilan.
Perilaku
yang paling mencederai keadilan terkait dengan hak Allah adalah kesyirikan.
Kemudian perilaku yang paling mencederai keadilan terkait dengan manusia adalah
membunuh manusia tanpa hak. Terkait dengan mencederai keadilan terhadap diri
sendiri yang paling tinggi adalah melakukan zina. Dan inilah yang diperingatkan
oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya,
وَالَّذِينَ
لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهاً آخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي
حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ
أَثَاماً{68} يُضَاعَفْ لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِ
مُهَاناً{69}
“Dan orang-orang yang tidak
menyembah Tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan
Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina,
barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat
(pembalasan) dosa(nya). Akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat
dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina. (Al
Furqan: 68-69)
Begitu
juga kesederhanaan dalam keadaan miskin dan kaya. Sesungguhnya ia merupakan
tanda kekuatan akal dan manajemen yang baik. Dan merupakan kepatuhan dan
perwujudan dari petunjuk Allah Yang Maha Kuasa, yang terdapat dalam firman-Nya
وَالَّذِينَ
إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ
قَوَامًا
“Dan orang-orang yang apabila
membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak pula kikir, dan
teguh berada diantara hal-hal yang demikian.” (Al-Furqaan:
67)
Sederhana
atau ekonomis dalam keadaan miskin maupun kaya adalah:
1.
Ekonomis bukan berarti pelit atau
bakhil dalam mengeluarkan kekayaannya sebagaimana ayat di atas. Dan tidak ada
jalan untuk masuk surga bagi orang pelit, ini adalah aksiomatik. Orang pelit
dibenci oleh Allah dan manusia.
2.
Sebesar apapun harta yang
dikeluarkan di jalan Allah, tidak masuk kategori pemborosan. Karena hal ini
telah dicontohkan oleh para sahabat diantaranya Abu Bakar, Umar, Utsman bin
Affan, Abdurrahman bin Auf Radhiallahu Anhum.
3.
Sekecil apapun harta yang
dikeluarkan dalam rangka bermaksiat kepada Allah adalah pemborosan.
Jadi,
tiga perkara ini mencakup seluruh kebaikan yang berkaitan dengan hak Allah, dan
hak pribadi, serta hak para hamba. Dan pelakunya akan mendapatkan kemenangan
dengan kemuliaan, petunjuk dan bimbingan.
Wallahu
Ta’ala A’lam
(ddn/darussalam-online.com